
Cover Buku ; salah satu buku cerita rakyat berbahasa hatam yang lagi populer dengan Judul "Sikembar MuI dan Miyepa", karya Margariet Pondajar M.Pd.
Manokwari, BeritaJoin.com – Manokwari terus bergerak maju, mengeksplorasi serta menampilkan seluruh potensi daerahnya. Salah satu gebrakan paling inspiratif datang dari dunia pendidikan, tepatnya dari SMP Negeri 2 Manokwari. Sekolah yang dijuluki Sekolah Juara ini menjadi pelopor dalam menghidupkan kembali budaya lokal melalui program literasi berbahasa Hatam—bahasa asli suku di Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Kepala Sekolah SMPN 2 Manokwari, Margariet Pondajar, M.Pd, mengungkapkan bahwa program literasi yang tengah digencarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan sangat sejalan dengan visi sekolahnya, yang bahkan telah lebih dulu mengimplementasikan kegiatan tersebut.
“Kami sangat mendukung gerakan literasi ini. Bahkan sebelum digaungkan secara nasional, kami sudah menjadikannya sebagai pelajaran tambahan di sekolah,” ujar Margariet, Sabtu (31/5).

Yang membedakan Sekolah Juara SMPN 2 Manokwari dari sekolah lainnya adalah fokus utama mereka terhadap bahasa Hatam—bahasa lokal yang sarat makna, sejarah, dan identitas budaya. Program ini telah berjalan selama dua tahun, dilaksanakan secara rutin setiap hari Rabu, dan didampingi langsung oleh para guru serta penutur asli dari suku Arfak.
Keseriusan mereka membuahkan hasil nyata. SMPN 2 Manokwari berhasil meraih Juara 1 dalam Lomba Baca Puisi Berbahasa Hatam yang digelar dalam Festival Bahasa Hatam, sebagai bagian dari program Revitalisasi Bahasa, di Manokwari City Mall. Prestasi ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal dapat menjadi kekuatan utama dalam dunia pendidikan.
Lebih dari sekadar kepala sekolah, Margariet Pondayar juga dikenal sebagai sastrawan lokal. Ia telah menulis dan menerbitkan sejumlah buku cerita rakyat suku Hatam, semuanya sudah tersertifikasi ISBN. Buku-buku ini menjadi bagian dari warisan budaya yang dapat dinikmati lintas generasi.
“Saya terinspirasi karena suku Hatam sangat melekat dengan tanah ini. Dalam setiap cerita, saya selipkan nilai-nilai pendidikan agar generasi muda bisa belajar melalui kisah-kisah rakyat,” tuturnya.

Yang menjadikan karya Margariet begitu istimewa adalah penyajiannya dalam tiga bahasa: Hatam, Indonesia, dan Inggris. Pendekatan ini membuat buku-buku tersebut mudah dipahami oleh siapa saja—anak-anak, orang tua, hingga pembaca dari luar Papua—dan sekaligus memperkenalkan kekayaan bahasa Hatam ke tingkat nasional dan internasional.
“Kami ingin buku ini inklusif dan menjangkau pembaca dari berbagai latar belakang. Ini adalah salah satu bentuk promosi budaya yang bisa dinikmati semua kalangan,” tambahnya.
Tak berhenti sampai di situ, Margariet kini tengah merancang sebuah aplikasi digital agar cerita-cerita rakyat Hatam dapat diakses kapan pun dan di mana pun. Upaya ini dilakukan untuk membuka ruang literasi yang lebih luas dan adaptif dengan perkembangan zaman.
“Saya persembahkan karya-karya ini untuk Manokwari tercinta. Bila ada sekolah atau pihak lain yang ingin menggunakannya dalam kegiatan pendidikan, saya sangat terbuka. Justru itulah tujuan utama saya—menghidupkan literasi melalui budaya lokal,” tutupnya penuh semangat.[ars]